Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sembilan Tahun UU Desa sebagai Titik Tumpu Pembangunan Ekonmoni Nasional

UU Desa sebagai Titik Tumpu Ekonomi Nasional

Sembilan Tahun UU Desa sebagai Titik Tumpu Pembangunan Ekonmoni Nasional
Doc.sekilasdesa.com

SEKILAS DESA- Sembilan Tahun UU Desa sebagai Titik Tumpu Pembangunan Ekonmoni Nasional-Desa yang maju, kuat, mandiri, demokratis dan sejahtera merupakan imajinasi tentang desa baru yang ditegaskan oleh UU Desa, sebagai arah perubahan desa yang berkelan- jutan di masa depan. Perubahan desa memang tidak mudah, tetapi juga tidak terlalu sulit. Kita bisa berguru dengan pengalaman lokal. Dari hari ke hari selalu hadir desa inovatif, desa yang berubah, sesuai dengan semangat UU Desa.

Undang-Undang Desa lahir dari semangat mulia yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup warga desa yang selama puluhan tahun terpinggirkan. Sebelum disahkan UU Desa, desa ditempatkan sebagai objek dari pembangunan. Konskuensinya, desa hanya menerima apa pun intervensi dari pemerintah pusat atau pemerintah kabupaten dan kota. Ironisnya, hal ini terjadi setelah otonomi daerah. Posisi ini membuat entitas desa hanya memiliki sedikit peluang menggugat meski kebijakan yang ada memberi dampak negatif bagi kehidupan warga desa.

Karena itu banyak lahir kebijakan di masa lalu yang membuat warga desa bisa mudah kehilangan ragam kultur daerahnya dan juga hak atas tanah atau aset penghidupan produktif lainnya atas nama pembangunan. Rezim setelah disahkannya UU Desa berupaya menggabungkan fungsi desa sebagai satuan masyarakat yang memiliki pemerintahannya sendiri (self-governing community) dan sekaligus sebagai pemerintahan lokal (local self-government).

Yang terbaru dari UU Desa adalah adanya upaya pemberian pengakuan terhadap desa untuk menjalankan hak asal usulnya yang meliputi revitalisasi adat-istiadat, tanah ulayat, dan kearifan lokal (asas rekognisi). Selain itu, UU Desa juga menjamin pemberian kewenangan yang bersifat lokal sehingga sebuah pemerintahan desa bisa menentukan kebijakannya sendiri (asas subsidiaritas).

Dari kedua hal di atas, UU Desa sebenarnya membuka peluang lebih luas bagi desa dan warganya untuk mewujudkannya masa depan mereka sesuai dengan kebutuhan, keragaman, dan keunikannya masing-masing. Apalagi undang-undang ini mengamanatkan pemerintah pusat untuk menyalurkan Dana Desa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai bagian dari hak pemerintah desa.

Tanggal 15 Januari 2014 adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia khususnya 74.962 desa di seluruh Indonesia, dimana tanggal tersebut pemerintah dan DPR RI sepakat mengesahkan lahirnya UU no. 6 tahun 2014 tentang Desa. Dampak dirasakan sangat besar dengan lahirnya Undang - Undang tentang Desa tersebut, ada semangat sangat besar dari pemerintahan dan masyarakat desa dengan legacy dan pengakuan dari negara untuk tumbuh, berkembang dan maju sebagai tulang punggung utama pembangunan Nasional.

Era pemerintahan Bapak Presiden Ir. Joko Widodo memperlihatkan komitmen dan keseriusan dalam Pembangunan Desa, Bapak Presiden meletakkan komitmen kuat dalam mengimplementasikan amanah UU no. 6 tahun 2014, mulai penataan kelembagaan pembangunan dan pembinaan desa, pembentukan peraturan pendukung UU no. 6 tahun 2014, kebijakan anggaran dan komitmen sosial politik lainnya guna menempatkan desa sebagai titik tumpu pembangunan ekonomi nasional, pembangunan SDM Desa serta pembangunan infrastruktur pembangunan yang sangat besar di desa-desa diseluruh Indonesia.

Dukungan pemerintah terhadap pembangunan Desa dapat dilihat dari besarnya anggaran APBN yang telah dikucurkan menjadi Dana Desa yaitu sebesar 468,6 Trilyun dari tahun 2014 – 2022 dengan dampak luar biasa bagi pembangunan desa diantaranya terbangunnya jalan desa sepanjang 227.359 ribu kilometer, embung pendukung irigasi dan air bersih desa sebanyak 4500 unit, terbangunnya jaringan irigasi desa sebanyak 71.988 ribu unit guna mendukung peningkatan produksi pertanian desa, terbangunnya 1,3 juta unit jembatan penghubung desa dan antar desa, terbangunnya 10.300 pasar desa mendukung mobilitas sirkulasi ekonomi desa, terbentuknya 57.216.

unit Badan Usaha Milik Desa, terbangunnya 6,120 Unit tambah perahu, 62,500 ribu unit penahan tanah, perbaikan longsor, lebih 20 juta aparat desa, perangkat desa, organisasi sosial kemasyarakatan desa, serta kelompok Pembina Pendidikan, sosial dan kemasyarakatan mendapatkan pembinaan, kursus, Pendidikan, keterampilan dari dana desa. Hasil-hasil yang diuraikan diatas adalah bukti nyata betapa perhatian Bapak Presiden Ir. Joko Widodo sangat besar dalam memberikan dukungan pembangunan desa di seluruh Indonesia selama 9 tahun terakhir.

Implementasi UU Desa juga bukan tanpa tantangan. Sebut saja kasus korupsi yang melanda pemerintahan desa. Pernyataan pers dari lembaga pengawas tindak pidana korupsi Indonesia Corruption Watch pada 2017 mengungkapkan sedikitnya ada 110 kasus korupsi terkait pembelanjaan Dana Desa sepanjang 2016 sampai Agustus 2017.

Kasus-kasus tersebut melibatkan setidaknya 139 pelaku dengan kerugian negara ditaksir meningkat dari Rp10,4 miliar pada 2016 menjadi Rp30 miliar pada 2017 atau naik hampir tiga kali lipat.
Modus korupsinya pun beragam, mulai dari tindak penggelapan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, peningkatan batas anggaran, laporan fiktif, pemotongan anggaran hingga suap.

Namun, perlu dipahami bahwa praktik korupsi merupakan masalah akut yang sudah melanda negeri ini bahkan sebelum lahirnya UU Desa. Akuntabilitas sosial, yakni pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, perlu bekerja untuk mengatasi permasalahan ini.
Selain banyaknya praktik korupsi, tantangan lainnya dalam pelaksanaan UU Desa terkait dengan kesiapan unsur-unsur pemerintah desa dan pemerintahan di atasnya. Saat ini keterlibatan masyarakat dan Lembaga Kemasyarakatan Desa dalam proses pembangunan masih terbatas. Di samping itu, peran Badan Permusyaratan Desa juga belum optimal. Belum lagi keberadaan pendamping desa yang masih dihujani kritik.

Selain itu, pemerintah pusat harus menjaga jangan sampai kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan melanggar hakikat UU Desa itu sendiri sebagai subjek utama dalam pembangunan. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah pusat diharapkan tidak hanya sebatas instruksi dan pelengkap administrasi tapi perlu mendorong sebesar-besarnya kemandirian dan keberdayaan desa.

Dengan pelaksanaan UU Desa yang optimal, maka anggapan desa-desa akan maju bila Indonesia maju tidak lagi relevan, karena seharusnya Indonesia akan maju bila desa-desanya telah maju. UU Desa seakan menjadi sebuah demarkasi. Demarkasi antara paradigma lama dengan paradigma baru dalam tata kelola pemerintahan desa di Indonesia. Dari paradigma yang menempatkan desa sebagai sebuah kelembagaan yang abu-abu kini menjadi sebuah lembaga yang sangat jelas desainnya, keberadaannya, otoritasnya dan sumber pendanaannya, sekaligus pertanggungjawabannya. Secara konseptual, Desa kini menjadi sebuah lembaga yang memiliki jati diri sehingga harus memiliki orientasi, memiliki visi dan misi yang pasti.

Oleh karenanya sesuai dengan semangat reformasi yang menjiwai terbitnya UU Desa, Nawacita dan Revolusi Mental, desa harus mampu tampil menjadi ujung tombak pemerintah dalam menampilkan wajah negara. Kewenangan menjadi sebuah kata kunci ! Ibarat sebuah makhluk, maka kewenangan adalah ruh yang menjadi sumber segala energi dan motivasi. Menarik diskusi tentang kewenangan desa dengan sosok Drs. Rooy John E. Salamony, Kasubdit Fasilitasi Penataan Kewenangan Desa. Pak Rooy, begitu panggilan akrabnya, adalah salah satu sosok yang turut menggodog Permendagri No 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa.

“Spirit kewenangan desa adalah otonomi desa. Desa punya dua kewenangan pertama : subsidiaritas dan recognisi. Disamping dua kewenangan kedua, yaitu kewenangan perbantuan dari pemerintah. Permendagri menetapkan kedua kewenangan pertama itu. Dengan desa diberi kewenangan penuh, terutama kewenangan di bidang asal usul dan kewenangan lokal skala desa ini, hampir pasti desa dapat menerapkan kewenangan desa”, ungkapnya.

Menurutnya, kewenangan asal usul, lebih terkait dengan masalah sistem organisasi desa, kebiasaan adat istiadat dan tradisi desa, praktek hukum desa, kegiatan berbagai perayaan yang rutin diselenggarakn desa, disamping urusan dengan sistem pemerintahan desa itu sendiri. Sementara kewenangan lokal desa, lebih ke urusan ekonomi. Urusan tambatan perahu, BUM Des, dan lain-lain adalah urusan kewenangan lokal skala desa. Permendagri No 44 Tahun 2016 mendudukkan kewenangan 1 dan 2 desa pada tempatnya.

Singkat kata, dengan UU Desa, negara menjamin kue pembangunan siap tersaji, Permendagri ini memberikan pisau tajam kepada desa untuk membagi secara adil kepada anak negeri tanpa intervensi dari pihak-pihak yang merasa lebih tinggi.  Dari sini sudah tampak sekali binar mata wajah berseri warga desa, ekspresi wajah gembira dan bahagia karena negara semakin memuliakannya.