Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kelompok Mahasiswa Menolak Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa dalam RUU Inisiatif DPR

Kelompok Mahasiswa Menolak Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa dalam RUU Inisiatif DPR

Sekilas Desa - Kelompok mahasiswa menolak perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) yang saat ini diajukan dalam Revisi Undang-Undang Desa. Usulan perpanjangan masa jabatan ini dinilai memiliki kepentingan transaksional dalam pemilu dan menjadi muatan utama RUU Desa yang kontroversial.

mahasiswa tolak perpanjangan masa jabatan kepala desa
    mahasiswa tolak perpanjangan masa jabatan kepala desa

RUU Desa, yang merupakan revisi dari RUU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah disetujui menjadi RUU inisiatif DPR melalui rapat paripurna pada Selasa (11/7). Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara-Seluruh Indonesia (AMHTN-SI), sebuah kelompok mahasiswa, mengkritisi isi RUU tersebut, terutama terkait perpanjangan masa jabatan kades yang dianggap tidak mendesak.

Koordinator Pengurus Kajian dan Analisis Kebijakan Publik AMHTN-SI, A Fahrur Rozi, dalam keterangan tertulis pada Rabu (12/7/2023), menyatakan bahwa perpanjangan masa jabatan kades tetap memperlihatkan adanya transaksi jabatan dalam lelang suara pemilu antara desa dan parlemen. Ia mengemukakan bahwa tuntutan perpanjangan ini tidak didasarkan pada dasar yang kuat atau fundamentum petendi yang jelas.

Alasan yang dikemukakan untuk perpanjangan masa jabatan kepala desa adalah menjaga stabilitas dan pembangunan desa. Namun, AMHTN-SI berpendapat bahwa alasan tersebut tidak logis. Menurut Rozi, dengan mengamini perpanjangan masa jabatan, DPR sebenarnya membiarkan dua bentuk kemungkaran politik terjadi. Pertama, konservatisme dan taklid buta politik masyarakat desa dapat terus berlanjut. Kedua, sirkulasi kepemimpinan dan evaluasi pemerintahan menjadi terbatas dan terhambat.

Rozi menambahkan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam putusannya memang menilai konstitusionalitas jabatan kades bukan melalui konstitusi, tetapi melalui undang-undang. Namun, substansi dari putusan tersebut adalah mengenai sirkulasi dan evaluasi. Dalam arti, jika rakyat tidak puas dengan kadesnya, mereka dapat menggantinya dalam kurun waktu 6 tahun. Oleh karena itu, menurut Rozi, periode jabatan selama 9 tahun terlalu lama untuk menjalankan substansi konstitusi tersebut.

Sebagai alternatif, AMHTN-SI menekankan pentingnya pendidikan politik yang baik untuk mencegah polarisasi politik yang mengganggu periode enam tahun masa jabatan desa. Anggota DPR juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan pendidikan politik selama masa reses parlemen. Rozi berpendapat bahwa stabilitas politik desa dapat tercipta melalui kesadaran yang utuh dan pendekatan ini jauh lebih baik daripada memperpanjang jabatan kades. Memperpanjang jabatan dalam jangka waktu yang panjang tidak dapat memperbaiki stabilitas politik desa.

Dalam kesimpulannya, kelompok mahasiswa ini menolak perpanjangan masa jabatan kepala desa dalam RUU inisiatif DPR dan mengkritisi muatan RUU Desa. Mereka menegaskan bahwa stabilitas politik desa harus dibangun melalui kesadaran yang utuh serta memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat desa, bukan dengan memperpanjang masa jabatan kades.

Kritik terhadap RUU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

RUU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi pusat kritik yang dilontarkan oleh kelompok Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara-Seluruh Indonesia (AMHTN-SI). Kelompok ini menyampaikan beberapa kritik terhadap isi RUU tersebut.

Pertama, salah satu kritik yang diajukan adalah terkait dengan perpanjangan masa jabatan kepala desa. AMHTN-SI berpendapat bahwa perpanjangan masa jabatan tersebut tidak mempunyai urgensi yang kuat. Mereka menilai alasan yang dikemukakan, yaitu menjaga stabilitas dan pembangunan desa, tidaklah logis. Menurut AMHTN-SI, stabilitas politik desa seharusnya dibangun melalui kesadaran yang utuh dan pendidikan politik yang baik, bukan dengan memperpanjang masa jabatan kades.

Selanjutnya, AMHTN-SI juga mengkritisi adanya kepentingan transaksional dalam pemilu yang terkait dengan perpanjangan masa jabatan kades. Mereka berpendapat bahwa perpanjangan tersebut dapat menciptakan transaksi jabatan dalam lelang suara antara desa dan parlemen. Hal ini mengarah pada kemungkinan terjadinya politik korupsi dan manipulasi kekuasaan.

Selain itu, kritik juga ditujukan pada aspek konservatisme dan taklid buta politik di masyarakat desa. AMHTN-SI mengungkapkan keprihatinan bahwa perpanjangan masa jabatan kades dapat membiarkan konservatisme dan taklid buta politik tersebut berlanjut tanpa adanya sirkulasi kepemimpinan yang memadai. Mereka berargumen bahwa sirkulasi dan evaluasi pemerintahan yang terbatas akan menghambat perkembangan demokrasi dan pemerintahan yang efektif di tingkat desa.

AMHTN-SI juga mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi yang menilai konstitusionalitas jabatan kades melalui undang-undang. Meskipun demikian, mereka menekankan bahwa substansi putusan tersebut adalah tentang sirkulasi dan evaluasi kepemimpinan. Dalam konteks ini, AMHTN-SI menyatakan bahwa periode jabatan selama 9 tahun, jika dibandingkan dengan periode jabatan sebelumnya selama 6 tahun, terlalu lama dan tidak sesuai dengan prinsip sirkulasi dan evaluasi yang diinginkan.

Dengan demikian, kritik terhadap RUU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang diajukan oleh kelompok AMHTN-SI menyoroti masalah perpanjangan masa jabatan kepala desa yang dinilai tidak mendesak, kepentingan transaksional dalam pemilu, konservatisme dan taklid buta politik, serta dampak terhadap sirkulasi kepemimpinan dan evaluasi pemerintahan di tingkat desa. Kritik tersebut menggarisbawahi pentingnya pembangunan stabilitas politik desa melalui pendekatan kesadaran dan pendidikan politik yang baik.

Pentingnya Pendidikan Politik untuk Membangun Stabilitas Politik Desa

Dalam konteks perdebatan mengenai perpanjangan masa jabatan kepala desa dalam RUU Desa, pentingnya pendidikan politik sebagai sarana untuk membangun stabilitas politik desa menjadi sorotan utama. Kelompok Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara-Seluruh Indonesia (AMHTN-SI) menekankan bahwa pendidikan politik yang baik adalah kunci untuk menciptakan stabilitas politik yang sehat di tingkat desa.

Pertama-tama, pendidikan politik dapat meningkatkan kesadaran masyarakat desa tentang pentingnya partisipasi politik yang aktif dan informasi yang akurat. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang proses politik, masyarakat desa dapat mengambil keputusan yang lebih baik dan bertanggung jawab dalam memilih pemimpin desa. Mereka juga dapat memahami hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara yang berpartisipasi dalam pembangunan desa secara aktif.

Selain itu, pendidikan politik juga dapat membantu mengatasi polarisasi politik yang sering terjadi selama masa jabatan kepala desa. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang perbedaan politik dan cara-cara berkomunikasi yang efektif, masyarakat desa dapat membangun dialog yang konstruktif dalam menghadapi perbedaan pendapat politik. Hal ini akan membantu menjaga harmoni dan stabilitas politik di tingkat desa, serta mencegah terjadinya konflik yang dapat mengganggu proses pembangunan.

Selanjutnya, pendidikan politik juga dapat membantu mengubah pola pikir konservatif dan taklid buta politik yang sering terjadi di masyarakat desa. Dengan memberikan pemahaman yang lebih luas tentang nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik, masyarakat desa dapat mengembangkan kesadaran politik yang lebih progresif. Mereka dapat berpartisipasi dalam pemilihan kepala desa berdasarkan pemahaman yang lebih matang, bukan hanya karena tradisi atau tekanan sosial.

Selain itu, melalui pendidikan politik, masyarakat desa dapat belajar tentang pentingnya akuntabilitas pemerintah dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan. Mereka dapat mempelajari mekanisme pengawasan dan evaluasi kinerja kepala desa, serta bagaimana melibatkan diri dalam proses pengambilan kebijakan yang berdampak pada pembangunan desa. Dengan demikian, pendidikan politik akan memberikan kesempatan bagi masyarakat desa untuk berperan aktif dalam memperbaiki kualitas pemerintahan desa.

Dalam rangka membangun stabilitas politik desa yang kokoh, penting bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk turut bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat desa. Masa reses parlemen dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi politik, dan peran masyarakat dalam pemerintahan desa.

Secara keseluruhan, pentingnya pendidikan politik dalam membangun stabilitas politik desa tidak dapat dipandang sebelah mata. Dengan pendidikan politik yang baik, masyarakat desa dapat memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang proses politik, partisipasi publik, akuntabilitas pemerintah, dan nilai-nilai demokrasi. Hal ini akan membantu menciptakan stabilitas politik yang sehat, mengurangi polarisasi politik, dan memperkuat partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa.